
JELAJAH.CO.ID, Makassar — Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI periode 2024–2029, Ahmad Muzani, menanggapi secara kritis putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan agar pemilu legislatif nasional dipisahkan dari pemilu legislatif daerah.
Dalam wawancara seusai mengikuti agenda temu kader Gerindra se-Sulsel di Hotel Claro, Makassar, pada Jumat 4 Juli 2025, Muzani menilai bahwa keputusan tersebut berpotensi menimbulkan persoalan konstitusional baru.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 itu memerintahkan pemisahan antara pemilihan Presiden dan DPR RI dari pemilihan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan kepala daerah. Artinya, mulai Pemilu 2029, pemilihan legislatif dan eksekutif akan dilaksanakan dalam dua waktu yang berbeda, dengan jeda waktu sekitar 2 hingga 2,5 tahun.
“Wacana ini sebenarnya sudah pernah dibahas dalam penyusunan Undang-Undang Pemilu. Namun saat itu, DPR memilih untuk tetap menyatukan pemilu nasional dan pemilu daerah karena pemisahan itu lebih mencerminkan semangat negara federal. Kita sudah memilih sistem negara kesatuan,” kata Muzani.
Ia mengingatkan bahwa pemilu serentak yang selama ini dijalankan justru merupakan implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya. MK pernah memutuskan agar seluruh pemilu – mulai dari Presiden, DPR RI, DPD, hingga DPRD – digelar dalam waktu yang sama.
“Sekarang MK mengubah lagi keputusan itu. Padahal, Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa pemilu dilakukan sekali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota,” jelas Muzani.
Muzani juga menyoroti implikasi teknis dan hukum dari pemisahan pemilu tersebut. Menurutnya, jika pilkada dan pemilihan DPRD baru dilakukan 2,5 tahun setelah pemilu nasional, maka akan terjadi jeda waktu yang mengakibatkan masa jabatan sejumlah pejabat daerah bisa diperpanjang atau diganti oleh penjabat (Pj).
“Pertanyaannya, apakah keputusan ini tidak justru bertentangan dengan konstitusi yang memerintahkan pemilu lima tahunan secara serentak? Karena itu, kami masih butuh waktu untuk melakukan kajian dan pembahasan lebih dalam,” tegasnya.
Ahmad Muzani mengaku telah bertemu dengan Menteri Dalam Negeri dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk membahas persoalan ini. Keduanya, menurutnya, juga masih melakukan pendalaman terhadap dampak dari putusan MK tersebut.
“Persoalannya bukan soal menguntungkan atau tidak. Mahkamah Konstitusi memang diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Tapi menurut kami, keputusan ini justru berpotensi menimbulkan problem baru terhadap Pasal 22E UUD 1945,” ujar Muzani yang juga merupakan Sekjend DPP Gerindra.
Butuh Penyesuaian Banyak Undang-Undang
Putusan MK ini berdampak besar terhadap struktur dan tahapan pemilu di masa mendatang. Pemerintah dan DPR perlu menyesuaikan sejumlah undang-undang terkait, mulai dari UU Pemilu, UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, hingga UU MD3. Selain itu, perlu dirancang pula mekanisme transisi masa jabatan yang tidak melanggar konstitusi.
Sebelumnya, sejumlah partai politik juga menyatakan keberatan atas putusan tersebut. Fraksi PKS dan Nasdem misalnya, menilai putusan MK membuka celah perpanjangan jabatan kepala daerah dan anggota DPRD tanpa pemilu, serta bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Meskipun demikian, MK berpendapat bahwa pemisahan pemilu akan meningkatkan kualitas demokrasi, mengurangi beban pemilih, serta memberi ruang lebih luas bagi isu-isu lokal dan kaderisasi partai di daerah.