Masakan Ibu Penuh Cinta vs Dapur Pejabat Beracun: MBG Harus Dihentikan!

Hasri Jack – Pemerhati Kebijakan Publik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto sejak awal pemerintahannya, awalnya dielu-elukan sebagai solusi cerdas mengatasi persoalan gizi anak bangsa. Namun realitas di lapangan justru menampar keras janji manis itu. Alih-alih melahirkan generasi sehat dan cerdas, MBG kini menjelma tragedi kebijakan: ribuan anak sekolah keracunan massal setelah menyantap makanan dari program ini. Fakta ini bukan sekadar kritik, melainkan alarm darurat atas keselamatan generasi penerus bangsa.

Keracunan demi keracunan membuktikan MBG cacat sejak perencanaan. Alih-alih menghadirkan makanan sehat, program ini justru membuka ruang praktik serampangan, minim pengawasan, dan rawan penyimpangan. Menu yang disajikan jauh dari standar gizi, distribusi dilakukan terburu-buru, kualitas makanan diragukan. Namun demi gengsi politik, pemerintah tetap memaksa program ini berjalan—meskipun anak-anak terus menjadi korban.

Baca Juga:  Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung Menilai MBG Dorong Gerakan Ekonomi Rakyat

Masalah klasik pun tak pernah teratasi. Banyak anak menolak makanan MBG karena tidak sesuai selera. Mereka jauh lebih lahap dengan masakan ibunya sendiri—sederhana, penuh kasih sayang, dan higienis. Akibatnya, makanan dari MBG sering berakhir di tempat sampah. Sementara itu, triliunan rupiah uang negara hangus tanpa manfaat. Sebuah pemandangan tragis: di satu sisi anak-anak keracunan, di sisi lain makanan terbuang percuma.

Yang lebih parah, “dapur MBG” ternyata dikuasai pejabat dan oknum anggota dewan. Mekanisme pengadaan yang tidak transparan menjadikan program ini bukan lagi urusan gizi, melainkan proyek rente politik. Pembentukan badan khusus gizi untuk mengelola MBG semakin mempertegas pemborosan: birokrasi baru, anggaran membengkak, dan potensi penyimpangan yang semakin lebar.

Baca Juga:  Indonesia dan Radiogram yang Diabaikan

Padahal, solusi sederhana ada di rumah. Seorang ibu jauh lebih tahu makanan apa yang disukai anaknya, bagaimana menjaga pola makan, dan bagaimana membuat anak lahap makan. Tidak ada negara, sekuat apa pun, yang bisa menggantikan peran itu. Masakan ibu penuh cinta, sementara “dapur pejabat” terbukti beracun.

Prabowo terjebak dalam janji populis yang menyesatkan. Akar masalah gizi anak bangsa ada pada daya beli keluarga, akses terhadap pangan bergizi, dan pendidikan gizi berkelanjutan. Namun negara malah memilih jalan pintas: menghamburkan anggaran untuk proyek seremonial yang rapuh, penuh bahaya, dan tidak menyentuh akar persoalan.

Karena itu, MBG harus dihentikan. Bukan aib jika Presiden berani mengakui kekeliruan. Justru rakyat akan lebih menghormati seorang pemimpin yang mengutamakan keselamatan anak-anak dibanding gengsi politik. Permintaan maaf sederhana dan keberanian mengalihkan anggaran MBG pada program yang lebih tepat sasaran—seperti BLT untuk keluarga miskin, pendidikan gizi di sekolah, serta pemberdayaan ekonomi rumah tangga—akan jauh lebih bermanfaat.

Baca Juga:  Indonesia Gelap

Bangsa ini tidak boleh terus diracuni oleh janji populis. Menghentikan MBG bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kebijaksanaan. Hanya dengan itu, Prabowo bisa membuktikan bahwa kepemimpinannya berpihak pada rakyat, bukan pada simbol politik.

Rakyat tidak butuh makanan gratis yang berujung keracunan.

Rakyat butuh pendidikan gratis, pekerjaan layak, dan keluarga yang kuat agar anak-anak tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia.

Komentar Anda
Berita Lainnya