
Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan mengalami turbulensi serius di triwulan II tahun 2025 ini.
Ekonomi Sulsel tumbuh 4,94% (y-on-y) di triwulan II-2025. Meskipun melambat dibanding periode yang sama tahun lalu, secara kumulatif semester I-2025 tetap menunjukkan penguatan sebesar 5,35%.
Dibanding triwulan sebelumnya (q-to-q), ekonomi Sulsel tumbuh signifikan sebesar 7,39%.
Dari sisi produksi, sektor yang mendorong pertumbuhan adalah industri Pengolahan (6,74%), Perdagangan (5,92%) dan Konstruksi (5,83%).
Dari 38 provinsi yang ada di Indonesia, Sulsel berada pada posisi 22, terburuk sepanjang sejarah. Bahkan, provinsi ini tak bisa lagi dianggap sebagai epicentrum ekonomi Indonesia Timur. Maluku Utara kini menjadi barometer ekonomi baru. Provinsi ini tampil Trengginas dengan angka pertumbuhan ekonomi yang mencapai 32,09 persen.
Bahkan, di Pulau Sulawesi, Sulsel berada di posisi buntut kalah dari seluruh tetangganya. Provinsi Sulteng bahkan tampil perkasa dalam pertumbuhan ekonomi dengan 7,95 persen dan berada di posisi kedua secara nasional.
Angka pertumbuhan ekonomi Sulsel itu mengkonfirmasi tambah sulitnya perekonomian riil di Sulsel saat ini. Pekerjaan makin sulit, sektor usaha menjerit dan perdagangan sepi. Tinggal hanya sektor pertanian yang menyelamatkan ekonomi Sulsel oleh karena lahan persawahan dan perkebunan yang masih luas. Tapi karena kebijakan pertanian yang melempeng, maka sektor ini juga tak bisa mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Lalu, apa yang salah dari kondisi itu. Kondisi ekonomi yang paling menggerus ekonomi Sulsel adalah karena permintaan domestik yang lesu. Hal ini terjadi karena melemahnya daya beli masyarakat, yang sering disebabkan oleh inflasi pangan dan harga kebutuhan pokok yang tinggi. Kondisi ini secara langsung menekan konsumsi rumah tangga yang merupakan pendorong utama ekonomi. Pemprov Sulsel lemah dalam upaya untuk menekan tingkat inflasi daerah ini. Tak ada upaya nyata yang dilakukan untuk melawan tingkat inflasi yang fluktuatif seperti itu.
Kondisi lain adalah ekspor komoditas Sulsel yang menurun. Permintaan global yang melemah, terutama akibat konflik geopolitik, menyebabkan penurunan ekspor komoditas dan industri, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi Sulsel. Untuk hal ini, Pemprov Sulsel seakan kehilangan arah untuk mencari pasar baru bagi ekspor Sulsel.
Unit kerja yang bertanggungjawab pada sektor ini sangat minim dalam mendorong diversifikasi produk dan pasar. Demikian pula dengan minimnya promosi perdagangan di pasar internasional.
Tak ada upaya untuk membuat perjanjian kerja sama ekonomi internasional untuk membuka akses pasar. Demikian pula kurangnya memberikan insentif kepada eksportir, serta tak fokus pada pengembangan sektor unggulan seperti pertanian, perikanan, dan manufaktur.
Memang, perkembangan ekonomi Maluku Utara yang melejit banyak dipengaruhi oleh sektor pertambangan terutama karena makin melambungnya harga nikel, komoditas yang berlimpah di Malut.
Namun, political Will pemerintahan mereka sangat kuat. Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, menyambut kebijakan hilirisasi pertambangan dengan cerdas.
Ia menekan manajemen kawasan industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), sebuah kawasan industri pertambangan nikel terintegrasi di Kabupaten Halmahera Tengah, untuk menggunakan sebesar-besarnya produk dan SDM lokal. IWIP diminta membuka kesempatan kerja hingga 75 persen SDM lokal. Selain itu, sektor ekonomi kecil berjalan dinamis di sekitar lokasi tambang seperti kuliner, akomodasi, laundry dan lain sebagainya.
Pemerintah Sulsel harus belajar banyak dari daerah dengan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tanpa banyak alasan dan tanpa banyak drama.
Nurmal Idrus