Irman Yasin Limpo dan Andi Pahlevi Ajukan Praperadilan Usai Ditetapkan Tersangka ‎

JELAJAH.CO.ID, Makassar – Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulawesi Selatan menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan. Keduanya masing-masing berinisial IYL dan AP.

‎Penetapan tersebut dilakukan oleh Unit III Subdit II Harta Benda Bangunan dan Tanah Ditreskrimum Polda Sulsel. AP diketahui merupakan anggota DPRD Makassar, sementara IYL diketahui merupakan mantan Kadis Pendidikan Provinsi.

‎Kepastian status hukum kedua tersangka itu dibenarkan oleh Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Didik Supranoto.

‎“Iya betul (keduanya tersangka), hasil konfirmasi dengan Dirkrimmum,” kata Didik saat dikonfirmasi awak media, Kamis 18 Desember 2025.

‎Tidak lama setelah penetapan tersangka, IYL bersama AP mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Makassar.

‎Berdasarkan penelusuran melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Makassar, permohonan praperadilan tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara 48/Pid.Pra/2025/PN Mks.

Baca Juga:  Sidang Sengketa Pilkada 2024, Hakim MK Soroti Keputusan KPU Palopo Loloskan Trisal-Akhmad

‎Pengadilan Negeri Makassar sempat menjadwalkan sidang perdana praperadilan perkara dugaan penipuan dana senilai Rp50 miliar pada Selasa, 16 Desember 2025. Namun, sidang itu batal digelar.

‎Sidang praperadilan tidak terlaksana karena pihak termohon, yakni penyidik Unit III Subdit II Harta Benda Bangunan dan Tanah Ditreskrimum Polda Sulsel, tidak hadir dalam persidangan.

‎Kuasa hukum IYL dan AP, Muhammad Nursalam, membenarkan pengajuan praperadilan tersebut. Ia menyebut persidangan telah mengalami dua kali penundaan.

‎“Sudah dua kali penundaan. Penundaan pertama karena termohon tidak hadir, sementara penundaan kedua karena jawaban termohon belum siap,” kata Nursalam kepada wartawan di Pengadilan Negeri Makassar, Jumat 19 Desember 2025.

‎Menurut Nursalam, permohonan praperadilan diajukan karena pasal-pasal yang disangkakan dinilai tidak relevan dengan perbuatan kliennya.

Baca Juga:  Kejati Sulsel Cegah Mantan Pj Gubernur Bahtiar Baharuddin dan Lima Orang Lainnya Keluar Negeri

‎“Pasal yang disangkakan adalah Pasal 378 dan Pasal 266 KUHP. Padahal unsur penipuan harus memenuhi adanya serangkaian kata-kata bohong yang menggerakkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,” ujarnya.

‎Ia juga menilai penetapan tersangka terhadap kliennya tidak ditopang oleh fakta hukum yang kuat.

‎“Pasal 378 mensyaratkan adanya penipuan berupa serangkaian kata-kata bohong. Sementara yang menerima uang dalam perkara ini adalah almarhum Andi Baso, bukan Irman Yasin Limpo (IYL) maupun Andi Pahlevi (AP),” kata Nursalam.

‎Nursalam menjelaskan, berdasarkan pengakuan pelapor, dana tersebut diserahkan kepada Andi Baso melalui perantara. Namun, karena Andi Baso telah meninggal dunia, peruntukan uang itu tidak lagi dapat dikonfirmasi.

‎“Tidak mungkin orang yang tidak menerima uang diminta bertanggung jawab atas perbuatan pihak lain,” ujarnya.

Baca Juga:  ANDALAN HATI Siapkan Tim Hukum Soal Gugatan DIA

‎Terkait pengakuan utang, Nursalam menegaskan hal itu tetap harus dibuktikan dengan adanya penyerahan uang secara nyata.

‎Sementara untuk sangkaan Pasal 266 KUHP, ia menyebut perkara tersebut berkaitan dengan dikeluarkannya pelapor dari kepengurusan yayasan.

‎“Itu seharusnya ditempuh melalui mekanisme perdata, bukan pidana. Yayasan adalah organisasi sosial, bukan badan usaha. Pasal 266 mensyaratkan adanya kerugian nyata, sementara dalam yayasan tidak dikenal kerugian finansial seperti pada perseroan terbatas,” jelasnya.

‎Atas dasar tersebut, pihak kuasa hukum menilai terdapat ketidaksesuaian antara alat bukti dan perbuatan yang disangkakan sehingga memilih menempuh jalur praperadilan.

‎Kasus ini sendiri bermula dari transaksi senilai Rp50 miliar pada 2017 antara IYL dan seorang pengusaha berinisial BN, yang berkaitan dengan rencana pembelian Sekolah Islam Al-Azhar di Jalan Letjen Hertasning, Makassar.

Komentar Anda
Berita Lainnya